Guru Lekar, Bagaimana Nasibmu?
Nurul Falah- Rusun Petaamburan . Majelis taklim, sarana dalam mencari ilmu agama dan menenangkan hati. Sebab media tersebut sudah masyhur di Jakarta sedari dulu. Majelis taklim tertua di Jakarta yaitu Majelis Taklim Kwitang yang dipimpin Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi. Majelis taklim tersebut telah mencetak guru-guru yang terus dikenang sampai kapan pun. Adapun guru-guru yang pernah belajar kepada Habib Ali al-Habsyi diantaranya; Habib Diya’ Syahab, Habib Muhammad al-Haddad, KH Idham Chalid, KH. Abdullah Syafi’i, Guru Marzuki, KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Moh Naim, KH Abdurrahman Wahid, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Melalui guru-guru tersebut, dikenal istilah guru lekar.
Istilah guru lekar ini santer terdengar di tahun 1970-an. Mereka dijuluki istilah tersebut karena mengajar dari satu kampung ke kampung lainnya, dari satu masjid ke masjid lainnya, dari satu langgar ke langgar lainnya , dan dari majelis taklim ke majelis taklim lainnya. Selain itu mereka mengajar kitab yang beralaskan meja kecil yang terbuat dari kayu. Namun bukan hanya gurunya saja yang menggunakan lekar pada saat pembelajaran tetapi juga murid-muridnya pun juga dengan fasilitas tersebut.
Guru-guru lekar mempunyai pengaruh yang besar di Jakarta. Sebab mereka selalu membersamai masyarakat di lingkungan sosial. Mereka juga dianggap sebagai tempat memberi jawaban dan solusi jika ada permasalahan yang terjadi. Mulai dari pertanyaan tentang awal Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, sampai pencerahan terhadap masalah-masalah yang privat. Maka dari itu seharusnya, negara memperhatikan guru-guru lekar yang mempunyai jasa besar di masyarakat.
Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pernah berkata, “Dulu zaman walid (panggilan Habib Ali) guru-guru lekar atau majelis taklim mendapat perhatian dari Kementrian Agama. Walid minta sama kementrian tersebut, supaya guru-guru majelis taklim dapat gaji dari pemerintah.” Permintaan sang Presiden Subuh diiyakan oleh kementrian tersebut. Sehingga hal tersebut memberikan dampak positif bagi kesejahteraan guru-guru yang mengajar di majelis taklim. Yang menjadi pertanyaan, apakah nasib guru lekar masih diperhatikan di zaman Revolusi 4.0?
Memang di zaman digital sekarang ini percepatan informasi tentang agama gampang sekali didapatkan melalui media sosial. Akan tetapi pembelajaran yang didapatkan dari gawai dan pembelajaran langsung bertatap muka dengan guru lekar itu sangatlah berbeda. Ketika seseorang belajar langsung dengan guru tersebut, mau tidak mau ia harus dengan adab dan sopan santun. Karena adab dan sopan santun kepadanya akan memberikan kunci kemudahan dalam menerima ilmu yang disampaikan olehnya. Di samping itu, ia lebih mudah dalam bertanya secara langsung jika ada permasalahan yang berkaitan dengan topik yang disampaikan oleh si pengajar tersebut.
Umumnya, guru lekar menyampaikan informasi agama itu melalui kitab-kitab salafuna salih atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning. Sebab kitab-kitab itu sebagai referensi yang telah ditulis oleh ulama-ulama terdahulu yang tidak lekang di makan zaman. Semua jawaban atas problematika dan permasalahan tersedia di dalamnya. Kitab favorite yang diajarkan guru-guru lekar yaitu kitab fiqih atau kitab yang berkaitan dengan ibadah dan kitab tentang akhlak. Sebab dua kitab tersebut yang memberikan pemahaman dalam hubungan vertikal kepada Allah dan tata cara bermuamalah dengan baik dengan orang lain.
Di tahun 1980, guru-guru lekar di Jakarta mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pengajaran di radio-radio. Radio-radio itu antara lain Radio Assyafiiyah, Radio Attahiriyah, dan Radio Cendrawasih. Biasanya siaran-siaran pengajaran tersebut di pagi hari dan sore hari. Di sisi lain, radio-radio tersebut menyiarkan ulang pengajian guru-guru lekar dari majelis-majelis taklim mereka. (Sumber: Ust Anto Jibril)
Sampai saat ini guru-guru lekar masih menjadi pembimbing spiritual masyarakat Jakarta. Hampir setiap hari, mereka mengisi di setiap masjid-masjid, mushola-mushola, majelis-majelis taklim, bahkan di perumahan. Mulai dari weekdays sampai weekend, pengajian-pengajian bergema di kota yang penuh janji. Adapun waktu efektif dalam pengajaran mereka yaitu bakda shalat Subuh dan shalat Maghrib.
Guru lekar itu terkenal dengan sifat tulus dan ikhlasnya dalam mengajar. Buktinya, Mualim KH. Syafi’i Hadzami pernah berkata, “Biar kata murid ane ga dateng pada saat ane musti ngajar, maka lekar yang ane ajarin (sumber KH. Fakhruddin Hadzami)” Perkataan tersebut mempunyai makna bahwa guru lekar tidak mengharapkan kuantitas murid yang dateng kepadanya akan tetapi lebih mementingkan kualitas si muridnya.
Penulis : Sayyid Yusuf Aidid