Loyalitas Masyarakat Muslim Betawi Kepada Ulama
Nurul Falah- Rusun Petamburan . Masyarakat Muslim Betawi dan Ulama, dua termin yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain membangun entitas masyarakat yang lebih nasionalis dan religius. Terbukti pengaruh ulama dalam memutuskan suatu perkara diikuti warga yang mempunyai campuran etnis Arab dan China tersebut. Sehingga kalimat sam’an wa thoatan (kami mendengar dan melaksanakan) perintah ulama itu menjadi sakral di tanah si Pitung tersebut. Maka dari itu ketika seorang Betawi yang mempunyai hajat maka datang atau sowan ke rumah ulama.
Pandangan orang-orang tua Betawi terhadap ulama tersebut layaknya penentram hati dan jiwa. Apalagi kalau ada seorang shalih datang ke rumah mereka, pasti sibuk untuk menyiapkan makanan dan minuman yang terbaik. Mereka menganggap seorang yang punya ilmu agama itu adalah representasi dari warisan Rasulullah. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda, “al-ulama warosah al-anbiya (ulama itu pewaris para Nabi).” Maknanya pelanjut dakwah nabi Muhammad itu adalah ulama.
Tradisi orang-orang Betawi sejak dahulu hingga saat ini yaitu megumpulkan para asatidz, kyai, dan habaib di rumah mereka ketika perayaan hari-hari besar atau mereka mempunyai hajat. Adapun acara dibuatnya pasti membaca surah Yasin, tahlil, ratib, dan membaca riwayat Nabi Muhammad. Mereka meyakini dengan pembacaan bacaan tersebut akan menambah berkah dan motivasi untuk lebih giat dalam beribadah kepada Allah Swt.
Pembacaan Surah Yasin bagi masyarakat muslim Betawi memperkuat akidah dan kecintaan kepada Allah. Pembacaan tahlil yaitu mengenang dan mengirimkan doa kepada kerabat, keluarga atau handai tolan yang telah wafat. Sedangkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad adalah simbol mengenang perjuangan Nabi Muhammad. Dimana tidak ada perjuangan yang sehebat Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam.
Dedikasi warga muslim Jakarta kepada ulama bukan hanya sewaktu hidupnya saja bahkan ketika setelah wafatnya terus dikenang. Banyak cara mereka dalam mengingat ulama yang telah meninggal. Mulai dari memajang foto-foto para mualim, mengadakan peringatan haul mereka, atau ziarah ke makam mereka. Biasanya warga Jakarta mengadakan ziarah ke makam guru-guru ngaji mereka pada bulan Sya’ban atau menjelang bulan Ramadhan. Mereka mengajak sanak famili dan keluarga untuk mengingat jasa-jasa guru yang telah memperkenalkan syariat agama.
Tradisi mengumpulkan para ulama pun terjadi di bulan Ramadhan di rumah-rumah ย warga Betawi. Biasanya, orang-orang Betawi mengumpulkan mereka menjelang berbuka puasa atau setelah shalat ashar. Acara biasa diawali dengan membagikan per juz al-quran untuk dibaca, kemudian dilanjut dengan pembacaan wirdhu latif, Yasin, tahlil, dan shalawat kepada Nabi. Setelah itu dilanjutkan dengan shalat terawih berjamaah. Tentu tradisi tersebut biasanya dilaksanakan bukan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Karena di malam-malam tersebut telah tertradisikan ifthar jama’i dan shalat terawih berjamaah di masjid-masjid yang telah dijadwalkan oleh ulama-ulama terdahulu.