Bagaimana Para Salafuna Salih Menjaga Fase Pertama di Bulan Ramadhan?
Nurul Falah-Rusun Petamburan Fase pertama di bulan Ramadhan itu terhitung dari hari pertama sampai hari ke sepuluh. Pada fase tersebut tersurat itu rahmah, yaitu terdapat kasih sayangnya Allah. Tentu untuk mendapatkannya perlu paksaan dari diri kita untuk melewati waktu bersama-Nya. Sebagaimana para ulama salafuna salih melewati hari-hari Ramadhan itu penuh kesan dan cinta. Sebab pertemuan dengan bulan yang penuh berkah tersebut hanya sekali dalam setahun. Sampai-sampai Allah memerintahkan malaikat Ridwan dan Malik sebelum datangnya bulan suci tersebut. Sebagaimana telah diungkap oleh Rasullullah (hadis qudsi), , “Wahai Malaikat Ridwan bukalah pintu-pintu surga, wahai Malaikat Malik tutuplah rapat-rapat pintu-pintu neraka bagi orang yang berpuasa dari umat Nabi Muhammad.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani:2016:298)
Melalui perintah Allah kepada kedua malaikat tersebut, maka umat muslim mudah untuk berbuat amal-amal baik di bulan umatnya Nabi Muhammad. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata, “Hendaknya kamu memperbanyak amal-amal baik khususnya di bulan Ramadhan. Karena bahwasannya pahala ibadah sunnah itu sama dengan pahala ibadah wajib selain dari pada itu.”
Bahkan pada statement yang lain, Imam Haddad berkata, “Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan hal yang wajib di bulan Ramadhan maka ganjaranya sama saja seperti pahala tujuh puluh kali lipat dari yang wajib dari padanya. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah sunnah maka ibadah tersebut sama dengan ibadah wajib yang dilaksanakannya selain darinya.”
Amal-amal baik itu berarti amal-amal shalih. Sebagaimana Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata pada hari pertama di bulan Ramadhan, “Bertemulah dengan Allah pada bulan yang agung dengan amal-amal shalih. Beri’tikaflah dengan berzikir kepada Allah dan bershalawat kepada Rasulullah dan membaca Al-Quran. Berhati-hatilah dari sifat riya, bangga diri, dan mencari popularitas di bulan tersebut. Serta Ikhlaslah kalian di dalam amal-amal dan mintalah (berdoalah) kepada Allah niscaya Sang Khalik mengijabah doa-doa apa-apa yang dikerjakan. Lalu ikatlah anggota tubuh kalian dari seseuatu pekerjaaan yang diharamkan.”
Adapun doa yang dianjurkan untuk dibaca selama bulan Ramadhan yaitu “Allahuma Innaka Afwuwun Karim Tuhibul afwa fa’fu anni” (Ya Allah Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf Engkau juga suka memberikan maaf maka maafkanlah saya). Doa tersebut memberikan konsistensi seorang muslim untuk mengerjakan amal-amal shalih di bulan puasa. Di sisi lain, seseorang yang melazimkan membaca doa tersebut niscaya akan mendapatkan malam lailatul qadar.
Para ulama salaf terdahulu ketika memasuki Ramadhan, mereka menyedikitkan waktu dari
kepentingan dunia. Imam Haddad berkata, “Seyogyanya kamu jangan tertatih-tatih pada bulan yang mulia ini (Ramadhan) dari selain amalan akhirat dan jangan pula kau masuk pada sesuatu dari amalan dunia kecuali ia seperlunya saja.”
Para salafuna salih ketika Ramadhan selalu semangat di dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Oleh karena mereka sangat memaknai sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang menyelamati Ramadhan, maka selamatlah di tahun tersebut.” Salah satu menyelamati Ramadhan yaitu mengisi malam dengan shalat terawih. Sebab shalat terawih merupakan bisa dikatakan shalat sunnah dalam menyegarkan ruh pada manusia. Sehingga seseorang yang istiqamah dalam mengerjakan ibadah terawih maka ia akan semangat dalam menjalani ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan yang penuh berkah tersebut.
Namun dalam pelaksanaan terawih harus mendapatkan perhatian dari seorang muslim. Imam Haddad berkata, “Hendaklah kamu melaksanakan shalat terawih pada setiap malam di bulan Ramadhan. Bahkan shalat terawih yang berjalan biasa pada sebagian negara dengan meringankannya sekali. Sehingga mungkin saja seseorang menyangka dengan sebab itu meninggalkan rukun-rukun yang utama dibanding pelaksanaan yang sunah tersebut.” Di antaranya meninggalkan rukun-rukun shalat pada shalat terawih tersebut seperti tuma’ninah pada setiap rakaat serta membaca surat al-Fatihah tanpa tajwid. Sehingga shalat sunnah tersebut tidak memberi dampak kepada orang yang melaksanakannya. (Imam Haddad:2010:85)
Penulis Oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)